“Manchester United tak membeli (pemain) karena harus membeli. Ketika Anda membeli, pemain itu harus lebih baik dari yang kami miliki,” kata Van Gaal saat mengomentari pertanyaan wartawan mengenai kebijakan transfer United.
Pemain yang lebih baik dari yang kami miliki. Mari kita garisbawahi ucapan tersebut, dan menganalisis empat rekrutan anyar United pada bursa transfer musim panas ini. Plus membandingkannya dengan pemain yang bermain di posisi yang sama musim lalu.
Memphis Depay
Dimulai dari Depay yang bahkan sudah dinyatakan sebagai pemain United setelah menjuarai Eredivisie bersama PSV Eindhoven. United punya sejarah bagus di masa lalu tatkala mendatangkan pemain Eindhoven seperti Jaap Stam (1998), Ruud van Nistelrooy (2001), dan Park Ji Sung (2004).
Depay diharapkan dapat meneruskan titah positif tersebut, apalagi ia merupakan top skor Eredivisie dengan koleksi 21 gol. Jumlah yang tinggi, jika mengingat posisinya bukan penyerang sentral melainkan penyerang sayap.
Total gol yang ia cetak kebanyakan berasal dari kegemarannya menusuk ke dalam atau peranan yang dikenal dengan istilah inverted winger. Depay juga rajin mengambil tendangan bebas, dan tak ragu menendang bola dari luar kotak penalti.
Banyak keyakinan muncul dirinya akan terus berkembang di bawah arahan Van Gaal yang mempopulerkan namanya di Piala Dunia 2014. Indikasi kerja keras Depay untuk berkembang bisa dilihat di statistik yang disediakan whoscored, perbandingan statistik Depay di musim 2013-2014 ke 2014-2015.
Total Depay mengemas 32 penampilan berbanding 28 di musim lalu, dan hasilnya jauh lebih baik. Jika di dua musim sebelumnya ia mencetak 12 gol dan 7 assist, Depay lebih ‘dimanjakan’ rekan-rekannya karena mampu mencetak 21 gol dan assistnya berkurang menjadi 4.
Evolusi Depay sebagai tumpuan pencetak gol PSV kian terlihat dari bagaimana ia menambah jumlah tembakan per laganya menjadi 5,5, berbanding 5,1 dan Depay pemain nomor satu Eredivisie dalam urusan melancarkan tembakan.
Keseringan melancarkan tembakan, gaya bermain Depay cenderung direct atau langsung dan mengurangi kelebihannya dalam mendribel bola. 2,8 berbanding 3,2 di dua musim sebelumnya jadi bukti sahih meleburnya permainan Depay dengan rekan-rekannya. Atas sejumlah catatan tersebut, Depay diberi nilai 7,95 oleh whoscored pada musim 2014-2015.
Pemain yang pantas dibandingkan dengan Depay sudah barang tentu si Ashley Young. Sama-sama bermain sebagai penyerang sayap, ia bak kembali menjadi ‘muda’ musim lalu seperti namanya. Van Gaal lebih memilihnya mengisi pos penyerang sayap kiri ketimbang Angel Di Maria dan Adnan Januzaj.
Mantan pemain Aston Villa mengakumulasi total 17 penampilan (3 di antaranya masuk dari bangku cadangan), 2 gol, 3 assist, 1,1 tembakan per laga, 1,2 umpan kunci per laga, 1,5 dribel dan tekel per laga, 33,3 persen akurasi tembakan, 1,6 umpan silang terukur per laga, 32,4 operan per laga dan diberi rating 7,26 oleh whoscored.
Skor tertinggi yang pernah diraihnya dibanding tiga musim sebelumnya. Dari perbandingan Young dengan Depay, jelas terlihat keduanya tak jauh berbeda dan memiliki gaya bermain yang nyaris serupa.
Perbedaan nyata terlihat dari wawasan Young yang memahami gaya bermain rekannya, sementara Depay baru bergabung dengan hasrat besar memberikan yang terbaik. Konsistensi permainan yang bakal menjadi landasan Van Gaal untuk menentukan siapa yang terbaik.
Young juga rajin musim lalu dalam membantu pertahanan timnya, bahkan ia rela berkorban dijadikan bek sayap kiri oleh Van Gaal. Poin tambahan tentunya dalam penilaian ini, Young sedikit lebih unggul dari Depay yang berada di setengah lapangan dan jarang membantu pertahanan.
Matteo Darmian
Mantan fullback Torino yang terkenal namanya setelah tampil di Piala Dunia 2014, Darmian sekilas mengingatkan akan sosok Davide Santon saat belum hengkang ke Newcastle United dan masih bermain untuk Inter Milan.
Setelah pergi mencoba peruntungan di Premier League, Santon kesulitan beradaptasi dan cenderung menghabiskan waktu di ruang perawatan akibat cedera. Santon pun kembali ke Inter, dan menambah tinta merah pesepakbola Italia yang gagal beradaptasi dengan kerasnya Liga Inggris.
United pernah memiliki Carlo Sartori (1968-1972), Massimo Taibi (1999-2000), Giuseppe Rossi (2004-2007), dan Federico Macheda (2009-2014). Adakah di antara mereka yang sukses? Tidak.
“Matteo fullback berkaki kanan dengan kemampuan serba-bisa dan juga dapat bermain di kiri. Dia kuat dalam bertahan dan punya kemampuan menyerang, yang mana kemampuan tersebut luar biasa dan dibutuhkan di ritme cepat Premier League,” ucapan Van Gaal saat menggambarkan kemampuan Darmian.
Catatan buruk beberapa pesepakbola Italia memang tak bisa menjadi tolok ukur kemampuan Darmian yang sesungguhnya, apalagi ia merupakan pemain yang bermain di posisi berbeda ketimbang pendahulunya.
Darmian baru berusia 25 tahun, dan mengemas 13 caps bersama Timnas Italia. Pengalaman di usia muda itu bisa menjadi landasan Darmian untuk beradaptasi dengan permainan cepat Inggris, apalagi ia dituntut cepat beradaptasi mengingat krisis bek United di sisi kanan.
Rafael jarang bermain musim lalu, sementara Antonio Valencia bukan bek kanan dan Jones serta Smalling walau bisa bermain di posisi tersebut, masih sering kecolongan menghadapi pemain-pemain tricky seperti Eden Hazard.
Jika dibandingkan antara Darmian dengan Valencia, Darmian muncul sebagai pemenangnya karena menyajikan keseimbangan dalam bertahan maupun penyerang. Hal yang sangat diinginkan Van Gaal.
Catatan dari Squawka di 25 laga liga, Darmian menciptakan peluang 1,29 berbanding 0,92 dengan Valencia, mencetak gol 0,05 berbanding 0, intercept atau memotong jalur bola 1.71 berbanding 1.75 dan memenangkan tekel sebanyak 2.08 berbanding 2.72.
Valencia memang dalam bertahan, namun keraguan timbul dalam benaknya saat ingin menyerang karena ia tak bisa terus maju dan melupakan sektor yang ditinggalkannya. Nalurinya sebagai gelandang sayap kanan bekerja dalam hal ini, dan ia cenderung ragu membantu serangan tim.
Alhasil Darmian yang terbiasa bermain di posisi tersebut, baik kiri maupun kanan bermain fleksibel tergantung permainan tim. Jika dibutuhkan menyerang ia akan menyerang begitupun sebaliknya. Permainan taktis Darmian tidak aneh tentunya, karena ia berasal dari negara yang mengajarkan catenaccio atau pertahanan gerendel ala Italia.
Bastian Schweinsteiger dan Morgan Schneiderlin
Mengapa dua pemain sekaligus? Jelas karena kedua pemain tersebut menempati posisi yang sama namun dengan gaya permainan yang berbeda. Schweinsteiger simple passer sekaligusplaymaker dan box to box player jika di belakangnya ada gelandang bertahan. Sementara Schneiderlin tukang perebut bola alias gelandang jangkar.
Permainan keduanya dikombinasikan pada diri pianis gaek tim, Michael Carrick. Saat melepaskan umpan dan mengalirkan bola ke segala arah, kedua pemain di atas dapat melakukannya. Namun dalam hal merebut bola, Schneiderlin ahlinya.
Jika Gelandang Prancis dibandingkan dengan Carrick dan Daley Blind yang bermain di posisi yang sama, ia memenangkan jumlah tekel (3,7 berbanding 1,4, 2,3), intercept kedua terbaik setelah Blind (2,6 berbanding 3,2 Blind, dan 1,7 Carrick), serta akurasi umpan kedua setelah Carrick (89,3 persen, Blind 87,7 persen, dan 89,6 persen Carrick).
Ada satu lagi keunggulan Schneiderlin yang bisa membuat Van Gaal tersenyum, ia lihai mencetak gol dan menorehkan 4 gol-1 assist berbanding 2-2 Blind dan 1-2 Carrick. Pembeliannya bak paket beli satu dapat dua, sekaligus investasi karena usianya baru berumur 25 tahun. Kedatangannya pun seakan menjawab permintaan fans yang ingin gelandang bertahan tangguh setelah ditinggal Roy Keane.
Di Premier League Schneiderlin juga terpilih sebagai satu gelandang jangkar terbaik bersama Nemanja Matic, Fernandinho, Francis Coquelin dan Carrick. Rataannya saat melakukan tekel, intercept diimbangi dengan kelihaiannya mengalirkan bola di depan, tak salah memang jika Ronald Koeman menyesal Schneiderlin pindah dan menggantinya dengan Jordie Clasie.
Lantas bagaimana dengan Schweinsteiger? Tak perlu rasanya membuat perbandingan berlebihan, karena perbandingan hanya formalitas untuk menggambarkan kejeniusannya dalam bermain bola. Subyektivitas yang berdasar karena ia pemain kelas dunia yang sarat pengalaman dan memberi pengaruh besar sebagai mesin lini tengah Timnas Jerman dan Bayern Munich.
Satu-satunya kendala tentu usianya yang tak lagi muda, dan dirinya yang rentan cedera. Selain itu, Schweinsteiger bisa diandalkan Van Gaal yang gemar permainan menguasai bola dan tentunya mengancam posisi Ander Herrera.
Dari perbandingan yang dikeluarkan Squawka dengan Carrick, Herrera, Blind dan Schneiderlin. Schweinsteiger memenangkan rataan skor dalam hal posisi menyerang tim dan menguasai bola, kekurangannya ada di sektor pertahanan – tentu dengan catatan musim lalu di Bayern, ada keberadaan Philipp Lahm dan Xabi Alonso yang lebih fokus membantu pertahanan.
Dengan keberadaan Schneiderlin atau Carrick di belakang kekasih Ana Ivanovic itu, Schweinsteiger jelas lebih leluasa menyerang dan sesekali muncul dari second line atau melepaskan sepakan spekulasi dari luar kotak penalti.
Pilihan di sektor gelandang inilah yang harus dimanfaatkan Van Gaal secara bijak dalam mengarungi musim di mana United kembali bermain di Liga Champion dan melakoni tiga piala lokal yang bisa direbut dari Premier League, FA Cup dan Capital One Cup.
Rotasi harusnya menjadi kebijakan utama Si Tulip Besi dengan menumpuknya pemain tengah mulai dari Marouane Fellaini, Herrera, Carrick, Blind, Schweinsteiger, dan Schneiderlin. Terutama jika hingga Agustus akhir nanti, United tak mendatangkan striker dan hanya memiliki Rooney serta James Wilson dalam prakiraan formasi ideal 4-3-3.
Source: Panditfootball.com
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran sangat diperlukan untuk mengembangkan blog ini